Polemik kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) kembali memanas. Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Besar (dikenal juga sebagai Mangkir Gadang), Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan keempat pulau tersebut masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut, meskipun sebelumnya berada di bawah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Keputusan ini memicu protes, terutama dari masyarakat Aceh yang merasa kehilangan wilayah tanpa musyawarah.
Isu ini diperkirakan berkaitan dengan potensi sumber daya minyak dan gas (migas) di wilayah tersebut. Anggota DPR dari Aceh, Muslim Ayub, menduga potensi migas menjadi alasan utama pengalihan wilayah ke Sumut.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menegaskan bahwa keempat pulau tersebut secara historis merupakan bagian dari Aceh. Ia mengklaim memiliki bukti dan data kuat yang mendukung kepemilikan Aceh atas pulau-pulau tersebut.
“Kami punya alasan dan bukti kuat bahwa pulau-pulau ini milik Aceh sejak dulu,” katanya.
Pemerintah Aceh juga mempertanyakan dasar keputusan Kemendagri yang merujuk pada batas wilayah daratan, padahal batas wilayah laut antara Aceh dan Sumut masih dalam sengketa. Pemprov Aceh menegaskan adanya kesepakatan tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Sumut yang mengakui kepemilikan Aceh atas keempat pulau tersebut.
Sementara itu, mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyinggung Perjanjian Helsinki 2005 sebagai acuan historis. Ia menyebut Pasal 1.1.4 Perjanjian Helsinki merujuk pada batas wilayah Aceh per 1 Juli 1956, yang seharusnya menjadi pedoman penyelesaian sengketa ini.
Di sisi lain, Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti, membela keputusan Kemendagri. Ia menegaskan bahwa penetapan keempat pulau sebagai bagian Sumut telah melalui kajian ilmiah mendalam dan bukan keputusan sepihak.
“Kami akan mempertahankan wilayah ini,” ujarnya di Medan, Kamis (12/06/2025).
Menanggapi polemik ini, Kemendagri berencana mengkaji ulang status kepemilikan pulau-pulau tersebut. Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menyatakan bahwa kajian akan dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri selaku Ketua Tim Nasional Penamaan Rupa Bumi pada 17 Juni 2025.
Komentar