Kepemimpinan Zulfadhli sebagai Ketua DPR Aceh (DPRA) untuk periode 2024-2029 baru berjalan beberapa bulan, namun sudah menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Sikapnya dalam menyikapi penunjukan Alhudri sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh mencerminkan pendekatan yang tidak hanya impulsif, tetapi juga berpotensi merusak harmoni antara legislatif dan eksekutif di Aceh.
Bukannya menjalankan fungsi pengawasan dengan bijaksana, Zulfadhli justru memilih jalan konfrontasi yang tidak substansial, menyeret institusi DPRA ke dalam polemik yang seharusnya bisa diselesaikan melalui dialog konstruktif.
Pertama, tuduhan Zulfadhli tentang adanya “permainan” di balik Surat Keputusan (SK) penunjukan Plt Sekda Aceh tidak didukung oleh bukti yang kuat. Ia menyebut Wakil Gubernur Fadhlullah dan Bendahara Gerindra Aceh, T. Irsyadi, sebagai dalang, serta mempertanyakan keabsahan SK karena tidak ada paraf Badan Kepegawaian Aceh (BKA).
Namun, secara hukum, penunjukan Plt Sekda adalah kewenangan mutlak Gubernur Aceh, dalam hal ini Muzakir Manaf, yang telah menandatangani SK tersebut. Jika Zulfadhli meragukan legalitasnya, ia seharusnya menggunakan mekanisme formal seperti hak interpelasi atau meminta klarifikasi resmi, bukan melontarkan pernyataan provokatif di rapat paripurna pada 21 Februari 2025.
Sikap ini tidak hanya melemahkan kredibilitasnya sebagai pemimpin legislatif, tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap batas-batas kewenangan.
Kedua, pendekatan Zulfadhli yang penuh emosi dan cenderung personal justru kontraproduktif bagi kepentingan rakyat Aceh. Dalam situasi di mana Aceh sedang berupaya menjaga stabilitas politik pasca-Pemilu 2024, seorang ketua DPR seharusnya menjadi penyeimbang, bukan penyulut konflik.
Pernyataannya yang keras dan tuduhan tanpa dasar malah memperkeruh suasana, menciptakan ketegangan yang tidak perlu antara DPRA dan Pemerintah Aceh. Rakyat Aceh tidak membutuhkan drama politik, melainkan kerja nyata untuk menyelesaikan masalah seperti kemiskinan, infrastruktur, dan pendidikan. Dengan fokus pada polemik administratif yang sebenarnya bisa diselesaikan secara internal, Zulfadhli gagal menunjukkan visi kepemimpinan yang berorientasi pada kesejahteraan.
Ketiga, sikap Zulfadhli mengundang kritik bahwa ia lebih mementingkan agenda politik pribadi atau kelompok ketimbang fungsi legislatif yang sebenarnya. Sebagai Ketua DPRA dari Partai Aceh, ia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan eksekutif demi kelancaran pemerintahan.
Namun, dengan menyerang Wakil Gubernur dan pihak lain secara terbuka, ia seolah menempatkan rivalitas politik di atas kepentingan masyarakat. Hal ini memperkuat pandangan bahwa Zulfadhli tidak cukup matang untuk memimpin DPRA, sebuah lembaga yang seharusnya menjadi pilar stabilitas di Aceh.
Sikap Zulfadhli dalam kasus Plt Sekda ini adalah cerminan dari gaya kepemimpinan yang perlu dipertanyakan. Jika ia terus melanjutkan pendekatan konfrontatif ini, bukan tidak mungkin hubungan antara DPRA dan Pemerintah Aceh akan semakin memburuk, menghambat pembangunan yang sudah lama ditunggu rakyat. Seorang pemimpin sejati tidak hanya berbicara keras, tetapi juga bertindak bijak.
Sayangnya, Zulfadhli tampaknya masih jauh dari harapan tersebut. Mungkin sudah saatnya Partai Aceh mempertimbangkan pemimpin yang lebih mampu menjaga keseimbangan dan fokus pada agenda yang benar-benar relevan bagi Aceh.
Penulis : Ody Yunanda (Ody Cempeudak)
Komentar