JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang melarang pimpinan organisasi advokat menjabat sebagai pejabat negara, seperti menteri atau wakil menteri, guna menjaga independensi organisasi advokat dari intervensi kekuasaan. Putusan ini bertujuan memastikan organisasi advokat tetap netral dan bebas dari pengaruh pemerintah.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menegaskan bahwa larangan ini perlu diatur secara eksplisit dalam undang-undang, sebagaimana berlaku untuk penegak hukum lain, untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
“Norma yang jelas tentang pembatasan rangkap jabatan pimpinan organisasi advokat dengan pejabat negara diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan kesetaraan di depan hukum, baik bagi masyarakat maupun anggota organisasi advokat,” ujar Arsul dalam sidang di MK, Rabu, (30/07/2025).
Arsul menambahkan bahwa advokat yang menjabat sebagai pejabat negara secara logis tidak dapat menjalankan tugas sebagai pimpinan organisasi advokat.
“Secara wajar, advokat yang menjadi pejabat negara kehilangan dasar hukum untuk memimpin organisasi advokat,” katanya.
MK juga menegaskan bahwa pimpinan organisasi advokat wajib nonaktif dari jabatannya jika diangkat sebagai pejabat negara. Langkah ini dianggap penting untuk menghindari potensi konflik kepentingan.
“Pimpinan organisasi advokat yang merangkap sebagai menteri atau wakil menteri berisiko menciptakan benturan kepentingan,” jelas Arsul.
Putusan ini berawal dari permohonan uji materi Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang diajukan advokat Andri Darmawan. Ia mempersoalkan absennya aturan yang secara tegas melarang pimpinan organisasi advokat merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Menurut Andri, rangkap jabatan ini dapat mengganggu independensi organisasi advokat dan memungkinkan intervensi pemerintah, serta dominasi individu atau kelompok tertentu yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan.
Andri mencontohkan kasus Prof. Otto Hasibuan, yang menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sekaligus Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan sejak 21 Oktober 2024. Otto, kata Andri, tetap memimpin Peradi hingga saat ini.
Dalam Rapat Kerja Nasional Peradi 2024 di Bali pada 5-6 Desember, Otto merekomendasikan pencabutan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 73 Tahun 2015 tentang Penyumpahan Advokat. Ia juga mengusulkan agar Mahkamah Agung hanya menyumpah calon advokat yang diusulkan Peradi dan mendorong semua advokat bergabung dengan Peradi.
Menurut Andri, rekomendasi Otto sebagai Ketua Umum Peradi sulit dipisahkan dari posisinya sebagai wakil menteri.
“Rekomendasi tersebut dapat dianggap sebagai sikap Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan,” ujar Andri, yang tergabung dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Ia menilai usulan ini bertentangan dengan realitas saat ini, di mana terdapat banyak organisasi advokat yang sah menjalankan tugas dan fungsinya.
Andri juga menyoroti bahwa rangkap jabatan ini memunculkan konflik kepentingan, karena pimpinan organisasi advokat yang juga pejabat negara sulit memisahkan kepentingan pribadi atau kelompok dengan tugas kenegaraan.
“Bahkan, ada kecenderungan penyalahgunaan wewenang yang mengesampingkan putusan Mahkamah demi kepentingan individu atau kelompok tertentu,” tegas Andri, merujuk pada posisi Otto sebagai wakil menteri.
Putusan MK ini diharapkan menjadi landasan untuk memperkuat independensi organisasi advokat dan mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan di masa depan.
Komentar