ACEH UTARA – Kebutuhan Pengawasan Ketat atas Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Aceh Utara semakin mendesak setelah tiga siswa pingsan usai mengonsumsi hidangan MBG di Kecamatan Matangkuli.
Program yang dirancang untuk mendongkrak asupan gizi pelajar ini justru menjadi peringatan keras: makanan gratis bukan jaminan sehat jika mutu dan keamanannya diabaikan.
Wakil Ketua I DPRK Aceh Utara, Jirwani atau akrab disapa Nek Jir, pada Jumat (03/10/2025) mengatakan bahwa pengawasan pelaksanaan MBG di wilayahnya harus ditingkatkan secara signifikan.
“Program MBG adalah inisiatif nasional yang sangat berharga bagi rakyat, tetapi pelaksanaannya wajib memenuhi standar ketat,” tegas Jirwani.
“Pengawasan harus diperketat agar makanan yang disajikan benar-benar sehat, bukan malah membahayakan atau mengandung racun.” Tambahnya.
DPRK Aceh Utara tetap mendukung penuh keberlanjutan program ini, namun menolak jika sampai mengorbankan kesehatan anak didik.
“Oleh karena itu, pengawasan harus melibatkan aparat kepolisian, kodim, dan dinas pendidikan untuk menjamin kualitas hidangan yang diterima siswa,” ungkapnya.
Menurut Jirwani, pengawasan mesti dimulai dari proses pengadaan bahan pangan. Semua barang yang dibeli harus sesuai prosedur operasional standar (SOP), bukan hanya mengejar harga murah.
“Jika rantai penyediaan terlalu panjang, bahan yang tiba di dapur berisiko berkualitas buruk, nilai gizinya lenyap, bahkan berpotensi tidak layak konsumsi,” paparnya.
Ia juga menyoroti perlunya pemeriksaan ketat terhadap bahan di dapur sekolah agar tidak ada yang kadaluarsa. Penyedia jasa pun wajib mempertimbangkan kondisi khusus masyarakat Aceh, seperti alergi atau larangan mencampur bahan tertentu.
“Contohnya, ada hidangan yang dilarang dikombinasikan dengan susu atau bahan lain sesuai adat setempat,” jelasnya.
Jirwani menegaskan bahwa tenaga ahli gizi yang terlibat harus memiliki spesialisasi dan kompetensi terverifikasi, bukan sekadar formalitas.
“Ahli gizi harus profesional sejati, bukan asal tunjuk,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia merekomendasikan agar pengelolaan dapur MBG diserahkan kepada warga lokal Aceh Utara, bukan pihak luar daerah. Langkah ini diyakini menciptakan tanggung jawab moral dan perhatian lebih terhadap kualitas.
“Penyedia dari luar cenderung hanya mengejar profit. Sementara warga lokal lebih mengenal kondisi daerah, mudah diawasi, dan tidak semata-mata berorientasi untung,” tandasnya.
Dengan pengawasan yang lebih ketat, DPRK Aceh Utara optimistis program MBG dapat memberikan manfaat optimal bagi pelajar sekaligus mencegah risiko gangguan kesehatan.



Komentar